Seri Belajar Ringan Filsafat Pancasila ke 43

Seri Belajar Ringan Filsafat Pancasila ke 43
0 Komentar

Memaknai sila ketiga “Persatuan Indonesia”

Papua
Bagian ke 7
Oleh: Kang Marbawi

“Identitas sebagai penanda tak lepas dari sejarah masa lalu. Penanda menjadi simbol pertarungan kepentingan. Maka tafsir penanda, bergantung kepada posisi dan kepentingan si penafsir.”

Gambar di Uang Republik Indonesia nominal Rp.10.000,- menarik Raffi Rabbani. Anak Kelas Dua SDN Rajabasa Lampung ini bertanya kepada bapaknya, Harimirhan, Guru PAI pada SMP Lazuardi Haura, Sumur Putri Teluk Betung Selatan, Bandar Lampung

“Siapa sih Pak orang ini? Ko ada di gambar uang sepuluh ribuan?” tanya Raffi Rabbani kepada Bapaknya. Padahal kita tak pernah memperhatikan secara seksama, gambar di uang keluaran tahun 2016 tersebut.

Baca Juga:Banjir Terus Berulang, Bukti Gagalnya SistemPasar Tumpah Dilarang, Kerumunan Lain Dibiarkan

Kita lebih fokus pada, mau dibelikan apa dengan duit itu? Dan seberapa banyak duit sepuluh ribuan yang bisa dihabiskan? Bahkan jika bisa gambar dan warnanya berganti gambar Soekarno dan merah warnanya.

Ya, itu gambar Frans Kaisiepo, Pahlawan Nasional dari Papua. Bersama Johannes Dimara (Johannes Papua), Marthen Indey, Silas Papare dan masyarakat Papua lainnya, mereka mencintai dan mempertahankan IRIAN tetap menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Frans menjadi envoy atau utusan dari Papua setelah proklamasi Kemerdekaan RI berkumandang. Saat Belanda mencoba membuat Negara Indonesia Timur (NIT) di Papua, Frans mencanangkan Ikut Republik Indonesia Anti Netherland (IRIAN), pada konferensi Malinau tahun 1946. Dan sejak saat itu, IRIAN menjadi nama bagi pulau yang terkenal dengan Burung Cendrawasihnya.

IRIAN dengan diksi yang disampaikan oleh Frans adalah diksi yang mengandung makna politik anti Kolonial. Diksi yang juga memiliki akar budaya dalam bahasa daerah di Papua. Lebih dari 384 bahasa daerah di Papua yang juga nasibnya terkatung-katung. Karena tak laku dipasaran komunikasi dan para penutur yang semakin sedikit. Bahasa lokal Papua semakin tersisih, terseret dan terpinggirkan. Bahkan beberapa diantaranya sudah lebih dahulu menuju “alam baka” kepunahan.

Dalam bahasa Biak Numfor “Iri” artinya tanah, “an” artinya panas. Dengan demikian nama Irian artinya “Tanah Panas”. Dalam bahasa Serui, “Iri” artinya tanah, “an” artinya bangsa, jadi Irian artinya “Tanah Bangsa”.Sementara dalam bahasa Merauke, “Iri” artinya ditempatkan atau diangkat tinggi, “an” artinya bangsa, jadi Irian adalah “Bangsa yang diangkat Tinggi”.

0 Komentar