Spirit Adaptasi 1: Ki Parno

Spirit Adaptasi 1: Ki Parno
Ki Parno Wonokromo (kiri) bersama Dahlan Iskan dan manager keuangan Sumatera Ekspres.
0 Komentar

MOHON maaf CLUE tidak hadir di edisi cetak pada hari Selasa (18/5). Ada dua tema yang datanya belum lengkap. Ternyata untuk menulis konsisten itu tidak mudah. Tapi CLUE hadir secara online di edisi Senin (17/5).

Sebagai kelanjutan dari catatan renungan setelah Ramadhan tentang adaptasi, maka CLUE akan menurunkan tiga edisi catatan seputar adaptasi. Inspirasi dari orang-orang yang berani melakukan adaptasi cepat merespons perubahan.

Sebenarnya adaptasi bukan barang baru. Bukan tuntutan karena internet dan pandemi. Adaptasi biasa kita lakukan setiap saat. Terutama saat berada dalam lingkungan dan suasana baru.

Baca Juga:Niko: O&I Farm Wujud Kanyaah Kang OniSaepul Paling Awal Daftar Cakades Ciwareng

Tapi adaptasi makin berkembang, belakangan para ahli menyarankan bahwa adaptasi saja tidak cukup. Tapi harus tahan banting, penyesuaian diri, lentur: resiliensi (resilience). Dalam bidang apa saja. Baik bisnis maupun pemerintahan.

Saya pernah mengikuti workshop online tahun lalu yang membahas resiliensi kebijakan karena pandemi yang digelar Pemprov DKI Jakarta. Saat itu saya dibayari Dr. Karlina, dosen saya dari Universitas Paramadina. Pamaterinya para ahli dari Amerika Serikat dan para CEO Indonesia yang hebat. Yang bisa bertahan di era pandemi. Plus berhasil melakukan banyak inovasi.

Sebenarnyar resiliensi merupakan term dari Psikologi. Bagian dari ego diri. Yakni kemampuan menyesuaikan diri saat dihadapkan dalam tekanan dari dalam maupun luar. Maka sangat wajar jika bahasan resiliensi kembali mengemuka saat wabah internet of thing (IoT) dan Covid-19 menjalar.

Banyak pelaku bisnis yang stres karena penjualan merosot. Umumnya karena pengaruh digitalisasi. Tekanan dari luar dan dalam. Dari dalam: ada gejolak SDM, misalnya omzet merosot yang berdampak PHK. Dari luar: persaingan makin sulit ditebak. Di sisi lain pelaku bisnis online happy karena penjualan melonjak tajam.

Contoh stres dan kesedihan ini dirasakan oleh para ojek pangkalan (opang) saat Go Jek booming di kota-kota. Juga pendapatan pemerintah kena imbasnya, karena transaksi digital sering kali terselubung. Banyak yang tidak kena pajak. Beda dengan orang belanja ke mal. Perginya saja sudah membakar BBM, membayar tol, parkir dan sumber negara lainnya akan hidup. Beda dengan belanja online.

0 Komentar