Industri Pariwisata dalam Pandangan Islam

Industri Pariwisata dalam Pandangan Islam
0 Komentar

Oleh Siti Aisah, S. Pd.
(Praktisi Pendidikan Kabupaten Subang)

Jasa pemenuhan kebutuhan wisata dan penyelenggaraannya, baik berupa pelayanan dalam akomodasi/perhotelan, bidang perestoranan, usaha kepramuwisataan, pernak-pernik cendramata dan atraksi kebudayaan setempat inilah yang menjadi fokus dari industri pariwisata. Menurut Undang-Undang Pariwisata no 10 tahun 2009, Industri Pariwisata adalah kumpulan usaha pariwisata yang saling terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan pariwisata.

Salah satu fokus dari industri kepariwisataan adalah adanya fasilitas rekreasi yang didalamnya terdapat pemanfaatan taman-taman, perkemahan, ruang konser/teater dan lain-lain. Selain itu ada pula taman-taman bertema, museum-museum, hutan lindung, argowisata, kegiatan seni budaya dan keajaiban alam yang termasuk ke dalam atraksi wisata. Dikutip dari jabar.go.id (27/02/2020) Bupati Subang, Kang jimat dalam sambutan yang membahas tentang Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Daerah (RIPPDA) menyampaikan bahwa dalam era reformasi keterbukaan globalisasi dewasa ini perlu menyimak ulang setiap peraturan yang masih berlaku dalam rangka menguji keefektifan dan akuntabilitasnya pada industri.

Namun dibalik itu semua, ternyata ada beberapa objek wisata di wilayah Kabupaten Subang Selatan yang belum mengantongi perizinan mendirikan bangunan khusus wisata yang dampaknya akan merugikan pemerintah karena tidak tercatatnya pajak hasil tempat usaha yang merupakan Penghasilan Asli Daerah (PAD). Wilayah PTPN di Subang Selatan yang dialihfungsikan menjadi objek wisata, kini menjadi sorotan. Pasalnya tempat wisata tak berizin itu kemungkinan memiliki dampak negatif lingkungan dan tidak tercium oleh Pajak PAD. Iis Rochati sebagai salah satu aktivis lingkungan hidup menyarankan bahwa “Bukan hanya perizinan yang mesti diurus, tapi pemerintah harus mengkaji untuk meminimalisir dampak negatifnya,”. Sebaliknya, alasan pengelola wisata yang belum memiliki IMB tersebut menuturkan bahwa selama ini pihaknya telak berusah melakukan perizinan. Namun birokrasi yang sulit membuat terhambat keluarnya surat tersebut. Padahal, objek wisata itu sudah beroperasi dan mendatangkan ribuan pelancong. (tribunjabar.com, 27/05/2021)

Baca Juga:Dilema Belajar Tatap MukaKebijakan Galau Rakyat Risau

Sungguh disayangkan, adanya RIPPDA ini seharusnya bisa menyelesaikan permasalahan di atas. Namun berbelit-belitnya birokrasi dan keseriusan pemerintah dalam mengembangkan industri kepariwisataan ini masih harus dipertanyakan. Bukan hanya itu, aroma kapitalisasi di bidang ini tercium kuat. Dengan demikian bau dari sekularisme (baca: memisahkan agama dari kehidupan) inipun tak terelakkan lagi.

0 Komentar