Sedangkan di akun IG Pemkab Subang mendapat 247 suka, 26 komentar. Akun resmi milik Pemkab Subang itu diikuti 11,8 ribu pengikut.
Sedangkan di akun Prokompim, yang tertinggi mendapat 42 suka, tanpa komentar dan hanya diikuti 2.574 pengikut.
Apakah kesan yang ditinggalkan karena blow up media sosial akan permanen? Sama sekali tidak. Akan berubah dan bahkan cepat berubah. Mengapa konten DM menuai banyak pujian? Itu aksi yang ‘menyentuh’ emosi publik. Emosi bukan berarti marah saja. Emosi: cinta, marah, perhatian, heroism, simpati, kecewa dan lainnya.
Baca Juga:Curahan Hati Nelayan Terdampak Tumpahan Minyak, Dampak Sama, Perlakuan BerbedaTertimpa Robohan Bangunan Sekolah, Tetangga Minta Ganti Rugi
Itulah ciri khas konten DM. Konten yang menguras emosi. Itulah passion Kang DM. Peduli terhadap masyarakat bawah, masyarakat miskin dan kesusahan.
Secara teori, konten begitu yang bakal cepat menarik simpati publik. Menarik audiens untuk menonton. Apakah Anda pernah menonton ini: Bedah Rumah, Katakan Putus, Tolong Dong, Uang Kaget, Tok Tok Wow Baim Wong dan sederet acara realita lainnya. Semuanya ‘sukses’ di pasaran.
Bagaiman jika aksi yang sama persis dilakukan Dedi Mulyadi dilakukan Kang Jimat? Yang memimpin mengangkut sampah itu Kang Jimat? Saya yakin, ceritanya akan berbeda. Hebohnya tidak akan sama.
Bagaimana jika Kang Jimat ingin memperbaiki imejnya? Gampang. Nanti setelah jalan ke TPA Jalupang bagus, 14 unit armada sampah yang dipesan dan tambahan 30 unit lagi datang, pasti dipuji. Pulih imejnya. Apalagi kalau bisa membeli alat penghancur sampah Rp35 miliar itu berhasil. Disusul menerima Adipura. Selesai bab sampah. Kembali nonton ‘Ikatan Cinta’ dan ‘Suara Hati Istri’ Indosiar.
Sampah memang urusan yang paling sederhana tapi sulit. Murah tapi mahal. Sampah harganya murah, tapi mesin pengolahan sampah ternyata mahal. Mesin penghancur sampah dengan segala alat lengkapnya harus menyediakan Rp35 miliar.
Apalagi untuk diolah menjadi tenaga listrik. Kota Solo yang mencoba membangun PLTSa perlu biaya Rp336 miliar. Dikerjasamakan dengan swasta. Itu pun direncanakan sejak 2019 hingga kini belum selesai.
Pasokan sampah di Solo masih kurang untuk menghasilkan tenaga listrik yang besar. Butuh sampah dari daerah kabupaten lainnya. Berapa listrik yang akan dihasilkan? Sebanding dengan biaya produksi? Tentu sudah ada kajiannya.