Beda dengan Indonesia, Presiden Filipina hanya boleh satu kali menjabat, yaitu 6 tahun. Tidak boleh nyapres lagi. Sama seperti Amerika, Filipina juga menganut sistem Demokrasi Federal. Di pertengahan tahun ada Pemilu Sela. Untuk memilih anggota DPR. Tapi di Amerika, presiden bisa menjabat maksimal dua kali seperti di Indonesia.
Banyak para ahli demokrasi menyebut, Pemilu Sela bisa jadi ajang penilaian terhadap kinerja partai penguasa. Seperti di AS tahun 2018 lalu, saat Pemilu Sela, Partai Demokrat berbalik menguasai DPR. Meskipun Kongres masih dikuasai Republik. Kemenangan Demokrat saat Pemilu Sela menandakan kekecewaan publik terhadap Donald Trump dari Partai Republik.
Nah, saat Pemilu Sela Filipina tahun 2019 lalu, kubu aliansi politik Duterte menang telak. Menguasai 9 dari 12 kursi majelis tinggi. Artinya, rakyat Filipina puas dengan kinerja Duterte. Maka Duterte berpeluang pula mengubah konstitusi. Misal, meloloskan konstitusi baru bahwa Presiden Filipina bisa dipilih kembali untuk periode kedua.
Baca Juga:KSOP Siapkan Fasilitas Pendukung Pelabuhan, Ada Pusat Bisnis Hingga Zona IndustriTidak Ada Zona Merah di wilayah Jawa Barat
Kekuasaan sebenarnya mirip-mirip. Sistem Demokrasi pun bisa menampilkan wajah otoritarian secara halus. Atas nama rakyat, atas permintaan dan dukungan rakyat dan segala alibi lainnya. Melalui keterwakilan kursi di parlemen.
Seperti yang kini tengah dibahas di Senayan sana: Gagasan Presiden Tiga Periode!
Ada virus demokrasi di tengah wabah virus corona. Ada vaksinnya?(*)