“Gambarkan Kepadaku tentang akhlak Nabimu” pinta seorang Yahudi dihadapan sahabat Nabi, Amirulmukminin Ali bin Abi Thalib. “Bisakah kau gambarkan Kepadaku tentang Indahnya dunia ini”, Ali ditaya malah balik bertanya.
“Bagaimana mungkin aku menggambarkan indahnya alam yang begini luas” jawab Yahudi. “Kau tidak sanggup menggambarkan alam ini, padahal Allah mengatakan ‘Qul Matauddunya Qolilun, Katakanlah bahwa dunia ini sangat kecil’, bagaimana mungkin aku mampu menggambarkan akhlak Rosulullah, padahal Allah menyebutkan ‘Wainnaka Laala Khuluqin Adziem’ bahwa sesungguhnya pada diri Rosulullah itu terdapat Akhlak yang sangat Agung”. Tukas Ali bin Abi Thalib.
Bulan Robiul Awwal, yang jatuh pada hari selasa tanggal 27 September 2022 adalah bulan ekpresi kecintaan umatnya terhadap Rosulullah saw, dari tingkat RT sampai dengan istana seakan menjadi sebuah kewajiban untuk menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi.
Baca Juga:Intan Lembata Nyanyi Begitu Syulit Lupakan Ridwan, Ridwan Kamil MeresponsJabar Kick Out Rabies 2022, Pemprov Jabar Sediakan 55 Ribu Vaksin Rabies Gratis
Terlepas dari kerangka fiqih sebagai legal standing tentang peringatan maulid Nabi, bahwa acara ini sebagai ekpresi rasa gembira umat Islam terhadap diutusnya Rosulullah saw, telah menjadi budaya layaknya rasa gembira kita ketika kita pindahan rumah yang baru, lalu mengundang tetangga untuk kumpul dan makan bareng-bareng, yang tidak mengharuskan ada hukum pikih yang mengaturnya karena ini hanya sekedar budaya.
“Ya Rosulullah, mengapa engkau puasa setiap hari senin?” Tanya salahsatu sahabat beliau. “Itu adalah hari di mana aku dilahirkan, hari di mana aku diutus dan diturunkannya wahyu kepadaku.” Jawab Rosulullah.
Jika Rosulullah mengekpresikan rasa kebahagiaan hari kelahirannya dengan cara berpuasa, umatnya dengan cara berkumpul pada satu majelis, bersilaturahim, bersolawat, mengkaji ilmu dan diakhiri dengan makan berjamaah. Semua rangkaian kegiatan ini samasekali tidak bertentangan dengan ajaran Rosulullah saw.
Akan tetapi ada satu hal yang pantas untuk kita keritisi adalah hilangnya substansi tentang makna paling dalam dari peringatan maulid Nabi, yaitu membumikan akhlak kepemimpinan ala Rosulullah saw. Melalui momentum maulid Nabi, umat Islam harus segera merekonstruksi pemahaman yang sebenarnya tentang bagaimana cara Rosululah memimpin umatnya.
“Fakta sejarah yang tak terbantahkan bahwa Muhammad adalah seorang pemimpin yang sangat berpengaruh”, tulis Michael Hart seorang penulis Barat dalam bukunya The 100, a Rangking of The Most Influential Persons in History. ”Aku telah membaca kehidupan Rasul Islam dengan baik, berkali-kali dan berkali-kali, dan aku tidak menemukan kecuali akhlak-akhlak luhur yang semestinya, dan aku sangat berharap Islam menjadi jalan bagi dunia” tulis George Bernard Shaw, seorang Filosof Inggris peraih Nobel di bidang sastra tahun 1920 M.