Tapi kita sudah terpana, ingin seperti mereka. Kecepatan dan kemajuannya. Duplikasi Cina itu di antaranya ada di program kereta cepat Jakarta-Bandung.
“Jika ingin mencari ide pergilah ke Eropa dan Amerika. Tapi jika ingin memacu semangat, pergilah ke Cina.” Begitu kata Dahlan Iskan.
Menurut Dahlan, masyarakat Cina selalu punya semangat tinggi dan kerja keras. Untuk memacu dirinya dan negaranya lebih baik. Apalagi mimpi itu perlahan terwujud dengan kepemimpinan Xi Jinping. Bahkan sekarang menurut Dahlan sudah berubah. Banyak ide inovasi yang lahir dari Cina. Eropa dan Amerika banyak ketinggalan.
Baca Juga:Tokoh Subang Lukmantias Penuhi Undangan Ketua Golkar Elita Budiarti, Diskusi untuk Kemajuan SubangUPDATE Polling Calon Bupati Subang! Ruhimat Menyalip, Pendukung Elita Belum Bergerak
Siapa yang identik dengan kegandrungan itu? Adalah Jokowi. Sedikit bicara, banyak bekerja. Kesederhanaannya bernarasi, kegigihannya bekerja, memenuhi harapan publik. Memenuhi nuansa kebatinan masyarakat Indonesia. Tentunya karena ada pula polesan tangan para konsultan.
Di antara para konsultan itu: Hermawan Kertajaya (HK) dan Eep Saefullah Fatah. HK adalah pakar pemasaran kelas dunia. Pendiri Markplus. Ia juga pakar membangun reputasi dan citra. HK memperkuat citra otentisitas, originalitas, keaslian sang Jokowi. Kesederhanaan, ‘keluguan’, bukan dari elit politik dan lebih banyak bekerja daripada bicara. Itulah citra kuat Jokowi.
Eep Safullah Fatah pendiri lembaga konsultan politik Pollmark. Menyebut Jokowi sebagai generasi baru pemimpin Indonesia. Apada adanya. Pemimpin seperti tetangga sebelah rumah. Segala kekurangannya adalah kelebihannya.
Jokowi menurut Eep, memerankan ‘Tukulisme’. Menampilkan wajah ‘ndeso, lugu, tidak bisa pidato, mengakui bodoh, mentertawakan bahkan membuka ke publik segala kekurangannya. Karena itulah publik suka. Sebagaimana publik menyukai pelawak Tukul Arwana. Padahal biasanya, politisi menyembunyikan segala kekurangannya. Jokowi pekerja bukan tukang pidato. Maka muncullah slogan: Jokowi adalah Kita.
Tapi di balik itu semua. Ada kegelisahan yang tak terbendung. Kebatinan entitas muslim merasa terusik. Upaya moderasi beragama telat digulirkan. Akibatnya, diidentikkan dengan Jokowi. Mucul beragam tudingan kriminalisasi ulama.
Meski sudah berupaya menggandeng ulama Kyai Ma’ruf Amin, citra itu demikian melekat dengan Jokowi. Dikaitkan pula dengan partai di belakangnya. Selalu saja ada celah. Tidak akan pernah ada pemimpin yang sempurna.