Maka harapan publik, kebatinan publik tinggal tersisa dua variabel. Variabel yang mengharapkan dipimpin dengan citra diri dan pola kerja Jokowi bertumpu di Ganjar Pranowo. Lalu variabel kedua yang mengharapkan figure lebih berpihak pada entitas muslim, santun dan cakap bernarasi, bertumpu di Anies Baswedan.
Kubu variabel pertama, kita sudah merasakan bagaimana perjalanannya dalam hampir 10 tahun pemerintahan Jokowi. Kubu kedua, dikaitkan pula pada tantangan zaman saat ini. Di mana dunia terpolarisasi dalam beragam kekuatan. Tidak lagi sama.
Sejak Amerika bersama NATO gagal menumbangkan Putin di zona perang Rusia vs Ukraina, dunia di ambang pada era kekuatan baru. Tak hanya Amerika dan sekutu, muncul kekuatan Cina dan Rusia. Amerika tidak lagi dominan.
Baca Juga:Tokoh Subang Lukmantias Penuhi Undangan Ketua Golkar Elita Budiarti, Diskusi untuk Kemajuan SubangUPDATE Polling Calon Bupati Subang! Ruhimat Menyalip, Pendukung Elita Belum Bergerak
Butuh figur yang bisa melobi dunia internasional. Memang benar Indonesia adalah negara NAM—nonblok. Negara dengan sikap Non Alignment Movement atau nonblok, bukan berarti tidak bisa bersikap apalagi dikendalikan.
Di era Soekarno, menurut pakar pertahanan Conie Rahakundini, saat Indonesia bersikap nonblok, bisa menempatkan Amerika dan sekutu di tangan kiri dan Uni Soviet di tangan kanan. Mampu pula memobilisasi negara-negara Asia dan Afrika melalui Konferensi Asia Afrika (KAA).
Publik Indonesia sudah terlanjur terpana pada figur Putin yang kuat. Xi Jinping di Cina yang hebat. Erdogan di Turki yang membangun mimpi keemasan Islam. Mereka piawai menempatkan diri di segala kutub kekuatan dunia. Meski gagal membangun demokrasi yang sesungguhnya, apalagi Cina yang bukan negara demokrasi.
Publik sudah terlanjut terpana dengan jiwa negarawan mereka. Lihatlah pidato Putin di hari pengakuan 4 negara bagian baru: Kherson, Lugansk, Zaporizhzhia dan Donetsk. Mengurai sejarah Rusia-Ukraina dan memaparkan fakta Amerika dari sudut yang tidak banyak diketahui publik. Akan dibahas CLUE edisi selanjutnya.
Selain itu, publik pun merasa sistem demokrasi makin terancam. Ditandai dengan banyaknya penahanan para pengkritik, kyai, mahasiswa dan masyarakat sipil. Penanganan hukum itu dianggap berlebihan.
Akumulasi situasi itu, seakan Jokowi yang disalahkan. Akhirnya, suguhan personifikasi Jokowi yang sederhana itu luntur. Justru dianggap tangan besi.