Catatan Lukman Enha
KADANG kita sering mendengar kritikan: programnya seremonial terus. Harusnya action, tindakan nyata. Kritikan itu bisa dialamatkan ke dalam konteks apa saja. Program pemerintahan, organisasi, kinerja perusahaan atau apa saja yang berkaitan dengan program kelembagaan.
Padahal, sering kali tindakan atau program diawali peristiwa seremonial. Atau justru, action itu nantinya juga akan berujung seremonial. Sebuah program pembangunan misalnya, diawali seremoni peletakan batu pertama dan diakhiri seremoni peresmian gedung.
Sebuah agenda besar pun, akan terasa makin sukses jika seorang master of ceremony (MC) membawakannya dengan cerdas dan berkesan. Artis-artis, banyak yang sukses berawal dari karirnya sebagai MC.
Baca Juga:DPMPTSP: Subang Investment Summit 2022 Peluang Besar BUMD Jalin Kerjasama InvestasiKopi BJB Subang
Maka, pemimpin sebenarnya adalah seorang maha-MC. Lebih dari sekadar pemandu acara. Tapi pemimpin adalah creator peristiwa. Creator program. Creator dari sebuah perhelatan seremonial itu sendiri.
Di Bali, kita sedang menyaksikan maha-seremoni. Acara pertemuan para pemimpin 20 negara maju. Dinamakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20. Melalui maha-seremoni itu, diharapkan ada komitmen dan deklarasi bersama atau komunike para pemimpin negara G-20.
Komunike itulah yang nantinya akan ditindaklanjuti dengan action oleh masing-masing negara G-20. Termasuk tuan rumah, Indonesia. Dua agenda besar yang dibahas yaitu: pemulihan ekonomi dan transformasi digital.
Maka KTT G20 bukan sembarang seremoni. Diprediksi meningkatkan konsumsi domestik, transaksi ekonomi di tingkat lokal hingga Rp 1,7 triliun. Mendorong kontribusi PDB hingga Rp7,4 triliun. Inilah seremoni berkelas.
Kita tunggu, nanti hasil akhirnya apa. Tapi sudah terbayang, negara-negara maju mendorong penggunaan energi terbarukan. Tidak lagi menggunakan energi batu bara. Benarkah mampu? Sebab turbin-turbin listrik di Indonesia saat ini digerakan oleh pembakaran batu bara. Energi lain masih mahal.
Tapi Amerika dan negara-negara maju itu, menjanjikan suntikan modal hingga Rp 300 triliun untuk Indonesia demi mendorong proyek-proyek energi terbarukan. Sebenarnya ini program negara G7 melawan hegemoni Cina melalui program Belt Road Initiative (BRI). Program Xi Jinping yang diluncurkan sejak tahun 2013 lalu. Diragukan AS dan kawan-kawan, nyatanya program BRI Cina begitu berpengaruh.
Tak mau kalah, AS dan Eropa melalui pertemuan G7 pada Juni 2022 lalu, meluncurkan program saingan BRI Cina yaitu Built Back Better World (B3W). Komitmen investasi energi terbarukan itu pelan-pelan untuk mengurangi ketergantungan dunia terhadap bahan bakar fosil. Sumber energi yang membuat Eropa dan AS repot. Ketergantungan negara timur tengah. Energi itu pula yang memicu perang dagang dan ‘alat perang’.