Kemudian yang terpenting, jaminan harga untuk komoditas pertanian. Totoh berpendapat, perlu diupayakan pemerintah, sebab tidak sedikit petani yang mengalami kerugian dan kehilangan asetnya akibat anjloknya harga komoditi hasil pertanian, ketika ketersediaan komoditas melimpah.
Padahal, sambung dia, ada proses yang panjang dalam bertani. Misalkan, petani tomat menanam tomat di Bulan Januari dengan periode panen tiga bulan, berarti di Bulan Maret petani tersebut bisa memanen hasil pertaniannya. Tetapi petani tidak mengetahui kejelasan harga untuk hasil panennya jadi ibarat sedang berjudi secara legal.
“Sekarang break even point tomat diharga Rp2.500 dan itu hanya balik pokok. Kalau Rp3.000 dia punya untung Rp500, tapi kalau di bawah itu, sudah jelas para petani ini akan menanggung kerugian,” paparnya.
Baca Juga:Pemkab Purwakarta Dorong Desa Miliki Produk UnggulanSantap Nasi Liwet dan Ikan Bakar Saung Xiathsu Maharyati
“Satu hektare kebun tomat sama dengan 40 ton, kalau kerugian Rp1.500 saja kali 40 ton, kerugian petani ini sudah mencapai Rp60 juta, itu makanya generasi millenial tidak ada gairah untuk bertani,” ungkapnya.
Dikatakan Totoh, seperti sedang berjudi secara legal, dikarenakan selama tiga bulan lamanya para petani ini harus menunggu tanpa kejelasan. Bahkan ketika masuk masa panen, untuk harga hasil pertaniannya pun belum ada kepastian yang bersifat menguntungkan bagi para petani.
“Jadi memang harus ada campur tangan pemerintah dalam bidang pertanian. Kalau tidak ada campur tangan, umur pertanian di Indonesia khususnya di KBB, tidak akan kuat bertahan 10 atau 20 tahun. Tidak bakal kuat dan terancam tidak akan ada petani lagi,” katanya.(eko/ery)