Food Estate, Kemandirian Bangsa dalam Pandangan Islam

Food Estate, Kemandirian Bangsa dalam Pandangan Islam
0 Komentar

Karena itu ketahanan pangan dalam Islam mencakup: (1) Jaminan pemenuhan kebutuhan pokok pangan; (2) Ketersediaan pangan dan keterjangkauan pangan oleh individu masyarakat; dan (3) Kemandirian Pangan Negara.

Negara dalam pandangan Islam memiliki tugas untuk melakukan kepengurusan terhadap seluruh urusan rakyatnya, baik dalam ataupun luar negri (ri’âyah su`ûn al-ummah). Islam mewajibkan negara menjamin pemenuhan kebutuhan pokok pangan (selain kebutuhan pokok sandang dan papan serta kebutuhan dasar pendidikan, kesehatan dan keamanan) seluruh rakyat individu per individu. Dalil bahwa itu merupakan kebutuhan pokok diantaranya bahwa imam Ahmad telah mengeluarkan hadis dengan sanad yang dishahihkan oleh Ahmad Syakir dari jalur Utsman bin Affan ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Segala sesuatu selain naungan rumah, roti tawar, dan pakaian yang menutupi auratnya, dan air, lebih dari itu maka tidak ada hak bagi anak Adam di dalamnya.”

Hadis tersebut juga dinyatakan dengan lafazh lain:
“Anak Adam tidak memiliki hak pada selain jenis ini: rumah yang ia tinggali, pakaian yang menutupi auratnya dan roti tawar dan air.” (HR at-Tirmidzi dan ia berkata hasan shahih)

Baca Juga:KKB Papua Beringas, Pemerintah harus TegasPeran Serta Pemuda dalam Membangun Negara

Dalam memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok itu termasuk kebutuhan pokok pangan negara akan menggunakan mekanisme ekonomi dan non ekonomi seperti yang diatur oleh hukum syara’.

Negara memastikan agar hukum-hukum syariat terkait dengan nafkan berjalan sebagaimana mestinya. Islam memerintahkan agar setiap laki-laki bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan kebutuhan orang-orang yang berada dibawah tanggungannnya. (QS. al-Baqarah [2]: 233). Jika kemudian pemenuhan kebutuhan pokok dia dan keuarganya belum terpenuhi, baik karena ia tidak bisa bekerja atau pendapatannya tidak cukup, maka kerabatnya mulai yang terdekat diwajibkan untuk turut menanggungnya. (QS. al-Baqarah [2]: 233). Jika belum terpenuhi juga maka tanggungjawab itu beralih menjadi kewajiban baitul mal (negara). Rasul saw. bersabda:

“Aku lebih utama dibandingkan orang-orang beriman daripada diri mereka, siapa yang meninggalkan harta maka bagi keluarganya, dan siapa yang meninggalkan hutang atau tanggungan keluarga, maka datanglah kepadaku, dan menjadi kewajibanku.” (HR. an-Nasai dan Ibnu Hibban)

0 Komentar