Selesai. Tidak perlu lagi menulis soal VakNus. Isu reshuffle kabinet mulai ramai. Tapi hari itu saya merasa bersalah –secara jurnalisme. Saya baru tahu hari itu bahwa yang membeli peralatan DSA di RSPAD itu ternyata kementerian kesehatan di zaman menteri kesehatannya Siti Fadilah Supari.
Saya pun mewawancarai dia. Yang ternyata menarik: dia hanya mau vaksinasi lewat VakNus.
Saya langsung mencatat: kok ada ilmuwan kedokteran, peneliti, doktor, yang hanya mau vaksinasi VakNus. Pastilah menarik, secara jurnalisme. Jurnalis mana yang menganggap itu tidak menarik?
Baca Juga:Mengais Rezeki Jelang Buka Puasa, Pedagang UMKM Dadakan Jemput Berkah RamadhanDLHK Karawang Tambah Armada Sampah
Itu, setidaknya, bisa sedikit menetralkan kesan ilmuwan vs politisi di kasus VakNus ini. Atau orang awam vs ilmuwan. Bu Siti Fadilah bukan orang yang tidak mengerti disiplin penelitian. Beliau sendiri peneliti –sampai membawa 60 simpanse ke Amerika.
Dan beliau hanya mau VakNus –karena pertimbangan kondisi badan yang punya problem autoimmune.
Prof Dr Nidom sebenarnya juga bisa jadi faktor penetralisir kesan itu. Prof Nidom bukan orang awam. Ia mengerti disiplin penelitian. Beliau peneliti. Bahkan penelitiannya sampai menemukan virus –flu burung saat itu.
Beliau membela VakNus bukan karena tidak mengerti –seperti saya. Bisa jadi beliau lebih banyak berbuat dari pada banyak ahli yang banyak berkomentar.
Maka jadilah tulisan seri 3 VakNus di Disway. Yang terbit Kamis lalu.
Dengan tiga tulisan tentang VakNus itu sebenarnya saya sudah merasa berlebihan. Juga sudah tidak punya bahan lagi yang baru.
Bahwa banyak anggota DPR yang juga jadi relawan VakNus tidak saya tulis. Secara jurnalisme, ”unsur baru” dari peristiwa itu sudah tidak tinggi –meski tetap menarik.
Baca Juga:Ini yang Dilakukan Karim Benzema saat harus Latihan, Bertanding sekaligus PuasaPolisi Tunjukkan Jiwa Sosial kepada Masyarakat
Kalau saya menuliskannya, kesannya saya sangat membela VakNus. Tanpa itu pun kesannya sudah begitu. Dan lagi saya memang membelanya –bukan dari segi ilmiah. Saya bukan ahlinya. Saya bukan siapa-siapa di bidang itu.
Maka tulisan saya pun jangan dianggap tulisan ilmiah. Jangan juga mudah terpengaruh tulisan saya. Saya bukan dokter. Saya bukan peneliti. Saya hanya wartawan!
Maka tiga karya jurnalisme itu saya rasa cukup. Benar-benar tidak ada lagi bahan baru untuk ditulis.