Gadis Kretek

Poster dari Netflix yang mengumumkan 'Gadis Kretek' akan segera tayang dalam bentuk serial.
Poster dari Netflix yang mengumumkan 'Gadis Kretek' akan segera tayang dalam bentuk serial.
0 Komentar

DALAM dua hari ini saya memikirkan istilah: kretek, klobot, linting, srinthil. Asal mula racikan rokok. Saya membuka google, mencari sejarah panjang kretek di nusantara. Itu semua dipantik novel ‘Gadis Kretek’ yang baru saya beli hari Jumat. Hari minggu malam sudah tuntas saya baca.

Saya putuskan: harus menulis tentang kretek dan novel-novel Indonesia yang hebat. Sekalian tentang isi novel ‘Gadis Kretek’ yang segera ditayangkan di Netflix. Padahal novel ini sudah terbit tahun 2012 lalu. Baru akan tayang di serial Netflix pada 2023 nanti. Dibintangi aktor hebat tanah air seperti Dian Satro, Putri Marino dan Aria Saloka.

Saya jarang nonton film yang diadaptasi dari novel. Hanya beberapa saja yang terpaksa saya tonton. Seperti film ‘Bumi Manusia’ yang diangkat dari novel karya Pramoedya Ananta Toer yang terkenal itu. Saya hanya ingin tahu peran Nyai Ontosoroh yang berkarakter hebat itu. Tapi rasanya aktor di film, tidak sehebat apa yang dideskripsikan di novelnya. Tidak kecewa, tapi kurang greget.

Baca Juga:Formula Anas BanyuwangiPembangunan Lapang Bintang Dilanjutkan, Ini Penampakannya Dilengkapi Menara Pandang

Beberapa aktor terlalu dipaksakan. Terlalu cantik dan tampan. Kurang Indonesia banget. Padahal film itu berlatar Indonesia sebelum merdeka. Rasanya kurang Indonesia. Tapi memang tidak mudah mencari sineas yang pas.

Itu pula salahsatu alasan gak bermutu saya mengapa jarang nonton film Indonesia di layar lebar. Tapi sekarang kelihatannya sudah mulai berbeda. Banyak talenta muda, sineas muda berbakat.

Film adaptasi novel lain yang saya tonton yaitu ‘Habibie dan Ainun’. Tapi film ini sukses membuat saya terharu. Saya maun nonton karena tidak baca novelnya. Akting Bunga Cintra Lestari dan Reza Rahadian memang hebat.

Lalu pernah nonton ‘Sepatu Dahlan’ menjelang tahun politik. Kisah di novelnya jauh lebih mengharu biru. Tapi tidak demikian saat di layar lebar. Begitu juga rasanya saat nonton ‘Laskar Pelangi’ yang heboh dan sukses itu.

Sejak saat itu saya berjanji, tidak akan nonton film layar lebar adaptasi novel. Kecuali dalam keadaan tertentu. Sebab akan mengurangi kekuatan imajinasi yang sudah tertanam di kepala.

0 Komentar