Seri Belajar Ringan Filsafat Pancasila ke 41 Memaknai sila ketiga “Persatuan Indonesia” Bagian ke 5

Seri Belajar Ringan Filsafat
1 Komentar

Fans Didi Kempot

Kang Marbawi

Ralf Gustav Dahrendorf berpikir bahwa kesatuan tak mungkin hadir jika ada manifest conflict yang awalnya laten di masyarakat. Keturunan Jerman Britania ini memprediksikan adanya konflik ketika pemimpin yang tak memiliki legitimasi, kondisi politik yang represif, menguntungkan satu golongan dan ditambah dengan kondisi sosial yang memberatkan masyarakat. Bisa jadi Myanmar salah satu contohnya. Indonesia, jangan sampai terjadi deh!

Baron Dahrendorf lupa, konflik yang termanifestasikan dalam kehidupan sosial tersebut lahir dari ketiadaan pertautan kepentingan yang sama. Yang hadir adalah menabalnya pragmatisme pribadi atau golongan atas kepentingan yang lain. Tak ada pertautan hati antar entitas.

Mungkin sang Baron tak pernah membaca sejarah Indonesia. Atau memang Indonesia tak menjadi minat sang Baron. Entah, apakah Indonesia menjadi kajian Simon E. Fisher yang mempelajari genetik dan bahasa manusia di Institute Max Planck. Padahal genetik dan bahasa manusia Indonesia sangat kaya dan beragam.

Baca Juga:Bhakti Sosial, PMC Bersama Warga Gelar Donor DarahSipon BT 51 Tarum Timur Amblas Pasokan Air Berkurang Petani Sedot Air Dari Cipicung

Ada 742 bahasa daerah di Indonesia, terbanyak ke dua setelah Papua Nuginie 867 bahasa. Ada 1.340 suku bangsa di Indonesia. Jika pembaca tak percaya, bisa tanya kepada kepala Badan Pusat Statistik, Dr. Suhariyanto. Atau silahkan hitung sendiri. Keragaman tersebut menjadi modal sosial yang bisa jadi potensi sekaligus rentan menjadi manifest conflictnya Dahrendorf. Tergantung kita, bagaimana mengelola keragaman tersebut.

Sekelompok manusia yang memiliki akar sejarah, bahasa, dan budaya yang sama tersebut membentuk satu komunitas, satu masyarakat, satu suku, satu kelompok golongan.  Melahirkan asyabiah.Walaupun saat ini asyabiah ataupun tribalisme tak melulu didasarkan atas kesamaan budaya, sejarah, atau bahasa.

Golongan yang terikat oleh aturan dan nilai yang disepakati dalam kelompok/golongan, melahirkan militansi asyabiyah atau tribalisme.  Ego asyabiah atau tribalisme ini kata Daniel Bell, pada masyarakat post industry, bandul tribalisme society semakin kuat, meninggalkan national society. Rawan perpecahan atau konflik. Indonesia sangat berpotensi untuk menjadi berkeping-keping. Konflik komunal akibat ketidaksamaan kepentingan -terutama kepentingan politik dan ekonomi, antar satu asyabiah (suku) dengan asyabiah lainnya.

Karena saat ini asyabiah muncul dan dimunculkan dan digunakan untuk kepentingan tertentu. Asyabiah/tribalisme model ini memiliki nilai, paham yang ditanamkan dan harus diterima demi menggoalkan tujuan tertentu. Sebab anggota dituntut kesetiaan dan militansi kepada puaknya. Dengan mengabaikan, mendiskriminasi, bahkan meniadakan entitas di luar kelompoknya. Lihat saja kelompok radikal teroris dan koalisi politik kekuasaan, mengandalkan asyabiah atau tribalisme untuk mengait tujuannya tercapai.

1 Komentar