Warna-warni tapi Sunyi

Warna-warni tapi Sunyi
0 Komentar

Sikap loyalisnya? Sunyi

Masih banyak sederet kesunyian lainnya. Padahal biasanya, mereka itu, aktor-aktor politik biasa membuat “kegaduhan” di panggung pertunjukkan. Membuat drama di panggung depan. Bercengkrama di panggung belakang. Begitu kata Teori Dramaturgi.

Ada yang ramai? Ada.

Saat Ketua PAN Asep Rohman Dimyati (ARD) tiba-tiba mengenakan jas hijau. Tadinya jas biru. Tapi jas hijaunya belum berlogo. Masih polos.

Kabarnya, kursi matahari terbit akan ditempati politisi cantik dari Jakarta. Disiapkan untuk menuju Subang Satu. Tapi itu masih sunyi.

Saat Ruhimat di hujan deras, hadir di forum Raker PDIP.

Baca Juga:Review dan Membedah Fitur Xiaomi Redmi Note 10S, Ponsel Terbaik di Harga Rp 2 JutaanIsyana Sarasvati Ingin Serius di Dunia Akting

Saat kader PDIP, yang masih muda, berbakat, mundur dari kandang banteng.

Kemudian sunyi lagi. Senyap lagi. Mungkin kebisingan terjadi di jagat maya. Jagat medsos.

Atau mungkin, kita sudah enggan membahas kebisingan tak berguna. Melawan korona saja tidak berdaya. Mending hidup apa adanya. Bertahan saja sudah untung.

Tapi kesunyian itu penting. Membuat panggung pertunjukan itu seru, tapi kadang jika sambil ngopi sudah tuntas, mengapa kita harus teriak memakai toa.

Kepala daerah, sebenarnya sudah memenangkan perang. Bagaimana mengatur siasat, agar palagan tetap terjaga. Benteng tetap terjaga. Kerja politiknya harus tercurah di kerja politik anggaran. Kerja perencanaan. Apalagi saat pandemi begini, harus jeli mengatur siasat.

Mana program yang bisa dibiayai, mana yang tidak. Pilih yang paling realistis. Lalu sampaikan ke publik sebagai pertanggung jawaban publik.

Dalam sunyi, saya juga mendengar, katanya ijon proyek sudah ”dikurangi” signifikan. Proyek siluman: di tengah hutan ada jalan cor, tidak akan terjadi lagi.

Baca Juga:Resmi Cerai, Nindy Ayunda Fokus Urus AnakTargetkan 500 Orang Divaksin Setiap Desa

Dalam sunyi, awalnya memang heboh, rotasi mutasi pejabat sudah hal biasa. Bukan lagi ladang intrik politik atau mengganggsir rupiah. Sepi.

Jika itu benar, maka perang sunyi itulah perang mental. Sudah banyak aktor politik yang memilih jalan sunyi itu.

Mungkin tidak lama lagi, orang sudah jenuh dengan medsos. Sudah jenuh dengan gaya blusukan. Sudah jenuh dengan panggung kampanye akbar. Sudah jenuh dengan kaleng ‘Khong Guan’ berisi ranginang.

Yang tersisa: masyarakat hanya akan memilih dan menyukai yang bisa memberi bukti. Tidak ingkar janji. Sedikit tapi nyata. Biasa tapi ada. Tidak ganteng tapi bikin seneng. Tidak cantik tapi punya lesung pipi dan jemari lentik.

0 Komentar