Mengurai Polemik Kriminalisasi Dinar-Dirham

Mengurai Polemik Kriminalisasi Dinar-Dirham
0 Komentar

Ada satu hal yang paling mencolok dari kasus ditangkapnya Zaim Saidi, yaitu ketika pemerintah mengkriminalisasi dinar-dirham dengan menyebutnya sebagai mata uang asing sehingga tidak sah untuk digunakan dalam transaksi jual beli, di sisi lain pemerintah justru membiarkan transaksi jual beli di Bali dengan menggunakan dolar.

Padahal, penggunaan dinar-dirham tidaklah merugikan perekonomian nasional sama sekali. Bahkan dinar-dirham pun tidak bisa disebut sebagai mata uang asing, melainkan koin emas dan perak yang dibeli dari PT. Aneka Tambang, Tbk. Di sisi lain, penggunaan dolar dalam transaksi jual beli di Bali telah nyata merugikan perekonomian nasional, hal ini dikarenakan membuat permintaan terhadap rupiah akan menurun, sehingga nilai tukar nya pun akan menurun.

Apa yang dilakukan oleh pemerintah sejatinya bukanlah karena ingin menertibkan pelanggaran administrasi terkait alat transaksi, melainkan mengkonfirmasi bahwa pemerintah phobia terhadap syariat Islam.

Baca Juga:Banjir, Jangan Salahkan AdministrasiNestapa Penanganan Pandemi yang Tak Kunjung Usai

Dewasa ini, masyarakat sudah mulai melek terhadap penggunaan dinar-dirham sebagai alat transaksi jual beli. Menandakan ghiroh umat Islam bangkit, hal tersebutlah yang diduga kuat tidak diinginkan oleh pemerintah. Sehingga pemerintah melakukan berbagai upaya agar ajaran Islam yang kaffah tidak sampai kepada masyarakat.

Hal tersebut juga dilakukan oleh pemerintah guna melanggengkan sistem ekonomi Kapitalisme. Di dalam sistem ekonomi Kapitalisme dikenal dengan kebebasan kepemilikan, dimana para pemilik modal menguasai seluruh aset kekayaan alam, sedangkan rakyat hanya kebagian remah-remahnya saja.

Sedangkan dalam sistem Islam seluruh kekayaan sumber daya alam (SDA) baik yang berupa hasil tambang, hutan dan perairan adalah milik rakyat yang dikelola oleh negara untuk kemudian dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pendidikan, kesehatan, keamanan, dan fasilitas umum lainnya.

Penerapan dinar-dirham ini baru terjadi di lingkungan dimana ide penggunaannya merupakan hasil inisiatif swadaya masyarakat (kelompok-kelompok), tetapi keberadaannya sudah menjadi momok yang menakutkan bagi pemerintah. Bagaimana jika bukan hanya dinar-dirham yang digunakan dalam transaksi jual beli, tetapi masyarakat juga menuntut sistem ekonomi Islam untuk diterapkan di seluruh transaksi ekonomi?

Kasus Zaim Saidi seharusnya membuat masyarakat semakin kritis, bahwasannya ini bukan hanya pertarungan antara mata uang kertas dengan mata uang dinar-dirham, tapi juga merupakan pertarungan antara ideologi Islam dan ideologi kufur. Wallahu a’lam bish-shawab.

0 Komentar